Jumat, 20 November 2015

10. NOXA


Pada 2010, nama Indonesia harum di salah satu festival musik 'bawah tanah' di Eropa. Band beraliran grindcore asal Indonesia, Noxa, mengibarkan Merah-Putih di Obscene Extreme Festival 2010. Lewat musik dan syair-syairnya, Noxa menghipnotis para pemuja musik cadas pada festival musik grindcore terbesar di dunia tersebut.

Bahkan, CD kompilasi Obscene Extreme Festival 2010 bertajuk Silence Sucks! didedikasikan untuk penggebuk drum pertama Noxa, almarhum Robin Hutagaol.

Setelah Robin wafat, Noxa kini digawangi Tonny pada vokal, Nyoman pada bass, Ade pada gitar, dan Alvin pada drum. Aksi Noxa mengusung Merah Putih di dunia musik cadas internasional bukan pertama kali. Pada akhir Juni 2008, Noxa menggila di Tuska Metal Fest 2008 yang digelar di Helsinki, Finlandia. Konser tersebut merupakan salah satu konser musik beraliran metal terbesar di kawasan Skandinavia.
Meski ditinggal Robin, Noxa tetap unjuk gigi. Gitaris Noxa Ade Hirmenio Adnis menceritakan perjalanan mereka 'merampok' hati para pemuja musik grindcore di Republik Cek pada Juli lalu. Berikut ini kisahnya:

Tur Noxa 2010
Berawal dari saling bertukar surat elektronik dengan pendiri sekaligus pemilik label bernama Obscene Record, Curby, Noxa akhirnya diundang di acara Obscene Extreme Festival 2010. Saat itu, Curby meminta informasi mengenai penggebuk drum Noxa pertama, Robin Hutagaol, yang wafat karena kecelakaan sepeda motor pada 17 Januari 2009. Curby sendiri merupakan pendiri label rekaman Obscene Record yang memiliki acara festival besar tahunan Obscene Extreme Festival.

Pada 2005 dan 2007, almarhum Robin Hutagaol sudah pernah berkunjung ke Obscene Extreme Festival dan mengajukan Noxa untuk bisa tampil tampil di acara itu. CD Noxa berisi album perdana dan kedua juga sebelumnya pernah pula dititip untuk dipromosikan di Obscene Extreme Festival.

Setelah bertukar surat elektronik dengan Curby, akhirnya kami sesama anggota Noxa rembukan untuk menanggapi hal tersebut. Noxa saat ini digawangi Ade (gitar), Tonny (vocal), Dipa (bas), dan Alvin (drum) sebagai pengganti Robin (RIP). Dengan keputusan bulat dan tekad yang kuat, akhirnya kami sepakat untuk memenuhi undangan tampil di Obscene Extreme Festival 2010 yang lokasinya di Trutnov yaitu bagian utara Republik Ceko, Noxa juga melakukan tur dua gigs lagi di Budejovice dan Praha. Sehingga total Noxa tampil tiga kali di tiga kota Republik Cek.

Kami punya jadwal tiga kali tampil di sana. Pertama, pada 13 Juli di Budejovice dengan nama tempat Club Fabrika. Jaraknya kira-kira 160 kilometer atau tiga jam dari Praha ke arah selatan Cek. Lalu 14 Juli di Praha. Nama tempatnya Rock Club Kain. Letaknya di kota Praha zona 4, Dan terakhir pada 15 Juli main di Obscene Extreme Festival 2010. Lokasi festival di Trutnov yang jaraknya juga sekitar 2,5 jam ke arah utara dari kota Praha.

Sebelum berangkat ke Republik Cek, kita mendapat sokongan dari teman-teman band asal Jakarta. Ada sekitar 21 band yang mendukung Noxa dalam sebuah acara yang diberi nama “All Of The Same Blood” yang diadakan pada 27 Juni 2010 di Bulungan Jakarta Selatan, Band yang mendukung Noxa dan tampil di acara tersebut berasal dari berbagai genre mulai brutal death metal, death metal, progressive death metal, thrash metal, hardcore, metalcore dan juga punk,

Band yang tampil: Siksa Kubur, Prosatanica, Paper Gangster, Killed By Butterfly, Invictus, Godzila, Thinking Straight, Divine, Inlander, Gigantor, Slimer, Disagree, The Borstal, Tyranny, Fragment Of Machine, People Shit, Traitor, Basterd, dan Grievance. Kami dari Noxa juga mengucapkan terima kasih banyak atas dukungan kawan-kawan sesama scene underground yang mudah-mudahan ke depannya kita bisa makin bersatu dan lebih solid lagi.

Tanggal 29 Juni kita sudah mendapatkan visa untuk bisa berangkat ke Republik Cek. Akhirnya kita berangkat tanggal 11 Juli dinihari dengan tiket yang sudah kita beli sekitar satu bulan sebelum berangkat. Kami tiba di Praha pada 11 Juli 2010 sore hari di Praha. Kami disambut Karel (panitia pre-OEF). Kita bermalam di apartemen yang sudah disediakan panitia.
Cuaca di sana ternyata sangat panas. Suhu sekitar 39-40 Celsius, Menurut orang sana, cuaca itu tidak biasa karena biasanya suhu saat musim panas hanya sekitar 15-20 Celsius. Mungkin karena saat ini sedang pemanasan global, jadi panasnya luar biasa pada saat musim panas. Dan ini terjadi juga di seluruh wilayah Eropa, bukan di Republik Cek saja.

Pada 12 Juli 2010 sore, kami langsung berkemas menuju Budejovice. Kami hanya membawa keperluan untuk manggung saja. Beberapa barang yang besar-besar kami tinggal di apartemen karena kita akan balik lagi 14 Juli dan bermalam di apartemen yang sama. Di Budejovice, kami ditemani Rob, panitia dari pre-OEF. Rob merupakan gitaris band grindcore asal Cek, Ingrowing, dan band hardcore Locomotive. Orangnya sangat menyenangkan. Kita diajak makan malam bersama beliau di City Centre Budejovice dan bermalam di apartemen yang sudah disiapkan panitia juga.

Pada 13 Juli 2010 sore, kami bersama Rob menuju venue tempat acara untuk manggung di hari pertama. Di venue kita pun melakukan sedikit latihan karena kita sudah lama enggak pemanasan sekalian check sound. Setelah selesai setting instrument, sound system, dan sedikit latihan, kita pun setting tempat untuk menjual merchandise. Letaknya di dekat pintu masuk tempat acara.

Noxa main di urutan ketiga di acara tersebut dengan urutan band pada saat itu yaitu band crust-punk lokal dari Budejovice, lalu band crust-grind asal Prancis “Whoresnation”, kemudian Noxa, dan terakhir Xaros band crust-grind asal Prancis juga.

Noxa tampil dengan sukses. Pengunjung yang membeli tiket dari data panitia berjumlah sekitar 80 orang di mana MC Fabrika ini adalah pub kecil yang berkapasitas 100 orang.

Acara berjalan dengan lancar dan sukses. Kami juga menjual kaus dan merchandise Noxa di sana dan ternyata lumayan banyak juga yang beli. Menurut orang sana, kalau band kita bagus dan mereka suka, biasanya mereka akan membeli merchandise yang kita bawa. Wah berarti mereka suka dengan Noxa.

Keesokan harinya pada 14 Juli 2010 pagi, kami berkemas menuju Praha. Sampai Praha, kami besama panitia berkemas menuju tempat acara di “Rock Club Kain” sebuah pub metal di Praha zona 4. Noxa tampil bersama beberapa band lain yaitu band crust-grind asal Belanda, Krush; bandgrindcore asal Swedia, The Arson Project; band grindcore asal Inggris+Cek, Hovadah. Ada juga dua band grindcore Prancis yang juga tampil di Budejovice bersama Noxa yaitu Xaros dan Whoresnation.

Jumlah penonton yang hadir memenuhi pub tersebut sekitar 150 orang. Di tempat tersebut, tiap band juga diberi kesempatan untuk menjual dan melakukan transaksi jual-beli merchandise. Acara berjalan dengan sukses dan respons penonton terhadap Noxa juga sangat baik. Hal tersebut terlihat dari penonton yang melakukan mosh pit dari lagu ke lagu.

Pada 15 Juli, Noxa kembali melanjutkan perjalanan menuju Trutnov yang jaraknya sekitar 150 kilometer atau 2,5 jam dari Praha. Di Trutnov inilah acara Obscene Extreme Festival 2010 berlangsung dengan total 66 band yang tampil selama tiga hari dari 15 sampai 17 Juli 2010. Jumlahh penonton mencapai sekitar 30 ribu. Sementara band yang tampil di antaranya DRI, Misery Index, Incantation, Doom, Cripple Bastard, General Surgery, Cattle Decapitation, Haemorrhage, Malignant Tumour, Ingrowing, dan Master.

Pada festival ini, 80 persen band yang tampil adalah band dengan segala jenis aliran grindcore. Sisanya brutal death, death metal, dan crust punk. Pada hari itu, 15 Juli 2010, Noxa main pada pukul 18.15. Pada saat tampil, antusiasme penonton sangat besar dilihat dari penonton yang moshing danstage diving saat Noxa tampil. Di akhir penampilan, Noxa sempat membentangkan bendera Merah Outih di hadapan ribuan penonton yang datang dari berbagai belahan Eropa dan Amerika pada hari itu.

Noxa selama tur di tiga titik membawakan 14 lagu yang diambil dari album pertama Noxa: Wake Up And Stand Up, Shitty People, Close Minded, Against Humanity dan Ajeng. Dan lagu dari album kedua kami Grind Viruses antara lain : Hancur, Dying Inside Out, Sinetron Sucks, Grind Viruses, Starvation, Lembata, Poligami, dan Catastrophe.

Pada acara Obscene Extreme Festival 2010, panitia juga membuat CD berisi kompilasi dari band-band yang tampil di acara tersebut. CD ini diisii 38 band di antaranya Misery Index, Doom, Cripple Bastard, Haemorrhage, General Surgery. Jumlah lagu dalam CD tersebut sebanyak 45. CD kompilasi Obscene Extreme Festival yang diadakan tahun ini diberi nama Silence Sucks! CD tersebut dipersembahkan untuk Robin Hutagaol (RIP) drummer pertama Noxa, dan pada cover OEF CD Compilation tersebut juga ditampilkan foto Robin Hutagaol (RIP).

9. SORE



     Sore atau Sore Ze band merupakan kelompok musik indie yang berasal dari Jakarta. Sore memiliki keunikan yaitu semua anggotanya bermain musik dengan kidal. Sampai saat ini Sore telah menghasilkan dua album studio dan beberapa kompilasi. Anggota Sore antara lain adalah Ade Firza Paloh (gitar, vokal), Awan Garnida (bass, vokal), Reza Dwi Putranto (gitar, vokal), Bemby Gusti Pramudya (drum, perkusi, vokal), Ramondo Gascaro (piano, keyboard, gitar, vokal). Semua anggota Sore ambil bagian sebagai vokalis dalam setiap album-albumnya.

Pada bulan Juli 2005 mereka merilis panjang penuh debut album mereka "Centralismo" (Aksara Records), yang sebagian menjadi upeti ke Jakarta Pusat, di mana sebagian besar anggota dibesarkan. Musik mereka sangat bervariasi dari trek untuk melacak sebagai anggota masing-masing menyumbang bernyanyi memimpin dan lagu-menulis dalam album ini. Penggunaan instrumen vintage yang mungkin membuat kenangan sedikit era keemasan musik pop dari 50-an, 60-dan 70 hanya tanpa retro-ish.

Produk musik Sore itu adalah bunga rampai dari beberapa genre yang diperoleh antusias dari mendengarkan dan mengalami musik dari dekade berbagai abad ke-20, dan berpuncak pada apa yang hanya dapat digambarkan sebagai" "rock kolase" ", sebuah, benar-benar baru benar-benar menarik sonic pengalaman.

Itu tenang album debut sukses dari seorang seniman indie, seperti yang terlihat dari ulasan yang media dan artikel. Ini menerima "empat bintang (****)" dari koran Jakarta Post. Pada September 2005 "Centralismo" ditinjau dalam majalah TIME ASIA sebagai "Salah satu Album WorthBuying Asia". Pada akhir 2007 album ini menempati peringkat no 40 dalam "150 Album Greatest Indonesion of All Time" di Rolling Stone Magazine Indonesia. 

Sambil mempersiapkan bahan mereka untuk album kedua mereka, mereka terlibat dalam empat album soundtrack lainnya asli: "Berbagi Suami" (Cinta Untuk Saham); "Kala" (Waktu Mati), Quickie Express, "Perempuan Punya Cerita" (Nyanyian dari Lotus) , salah satunya menjadi hit single, "Pergi Tanpa Pesan", pengerjaan ulang dari klasik jelas Indonesia dari akhir 1950-an. Dalam tiga dari film ini Bembie gusti dan Mondo Gascaro bersama dengan rekan mereka, Aghi Narottama juga bekerja sebagai direktur musik. 

Dan sekarang setelah bekerja bahan mereka selama lebih dari satu tahun, mereka baru saja realesed album kedua mereka berjudul "Ports of Lima" (Aksara Records - 2008) untuk pujian kritis besar. Musik dalam album ini relatif padat di tekstur dari rilis sebelumnya, dengan gitar lebih banyak dan distorsi, dan kepekaan atmosfer kuat.

Meskipun banyak tema dari lagu-lagu berasal dari pengalaman pribadi, bioskop, juga akan datang sumber inspirasi mereka, seperti yang ditunjukkan oleh lagu-lagu seperti "Essensimo" (400 Truffaut ini Blows), 400 Elegi (Elephant Man Lynch), Come By Sanjurou (Kurosawa Sanjurou).


8. BOTTLESMOKER

Mungkin belum banyak yang tau tentang BottleSmoker, saya pun begitu. Ya, setidaknya hingga 24 jam terakhir. Saya sudah tau tentang BottleSmoker sejak beberapa bulan lalu, itu pun melalui TV. Awalnya sih saya kurang ngerti tentang musik mereka, tapi karena penampilannya yang unik dan alat-alat yang digunakan juga unik, saya pun betah menonton.

Lama kelamaan, ternyata musiknya enak juga. Selain itu, suara-suara yang ditimbulkan juga nggak biasa. Dan ternyata, inilah yang dinamakan aliran Electro Pop yang diusung duo asal Bandung ini. 

Uh, keren…
Dari beberapa artikel yang saya baca di internet, BottleSmoker ini sudah hadir sejak 2005 lalu. Diawaki oleh Ryan Adzani (Nobie) dan Anggung Suherman (Angkuy) yang setia menggunakan internet sebagai salah satu sarana mengembangkan kreativitas. Waktu itu, Indonesia masih belum banyak ngeh sama yang namanya musik Electro. Jadi, masih banyak orang yang nggak ngerti dengan musik BottleSmoker. Bahkan ada yang bilang “Apaan sih ni?”.

Anehnya, di luar negeri sana tepatnya di Spanyol ada sebuah netlabel yang tertarik untuk merilis album mereka dan jadilah Before Circus Over (2006) yang berisi 8 lagu. Sayangnya, dari dalam negeri sendiri belum banyak yang mengapresiasi album ini.

Tahun 2008, BottleSmoker mulai ‘terbang’ dengan rilisnya Slow Mo Smile. Pertama dirilis oleh netlabel dari Amerika, lalu baru rilis oleh netlabel lokal dari Indonesia. Tahun yang sama juga, BottleSmokermulai mendapat tawaran manggung.

Enaknya dengan BottleSmoker, kita bisa menikmati semua karya mereka secara gratis. Apakah karena semua albumnya sudah dibajak? Bukan! Karena mereka memang mendistribusikan karyanya secara gratis. Menurut mereka, kepuasan yang paling berharga adalah ketika karyanya diapresiasi oleh masyarakat.

Lalu, bagaimana mereka bisa punya uang? Ehm… rejeki mereka datang dengan cara lain seperti menjual merchandise dan fee dari manggung. 
Walaupun di Indonesia BottleSmoker kurang terkenal, tapi mereka sudah pernah tour ke beberapa negara seperti Malaysia, Filipina, dan Brunei Darusalam. Bahkan tahun 2011 lalu mereka melakukan tour ke 5 negara di Asia termasuk Cina dan Hongkong.
Oh ya, sedikit komentar BottleSmoker dari saya. Duo ini telah benar-benar memanfaatkan teknologi dalam berkreatifitas, seperti menggunakan iPhone 4S dalam pembuatan video Boredom and Freedom.

Selain itu, mereka juga membuat musik yang kreatif dan berkarakter. Suara-suara untuk musik mereka bukan hanya dari alat musik tapi juga dari mainan-mainan masa kecil. Dari bel tangan hingga Nintendo DS digunakan untuk bermusik.
Yang membuat saya lebih kepincut dengan BottleSmoker adalah kegigihan mereka, diawal-awal kemunculannya mereka dikritik bahkan sudah sering ditolak oleh label musik di Indonesia. Mereka tidak menyerah dan lari ke internet dan akhirnya terkenal, setelah itu baru dilirik oleh Indonesia.
Selain itu, mereka telah menginspirasi banyak sekali Bedroom Musicians untuk keluar dari ruangan mereka yang nyaman dan menunjukan musik mereka di depan umum. Bedroom Musicians ini adalah para musisi yang bermusik tanpa pernah didengar oleh banyak orang, bahkan oleh orang lain.


7. GOODNIGHT ELECTRIC


Goodnight Electric adalah sebuah grup musik asal Indonesia yang beraliran synthpop yang dibentuk tahun 2003 diJakarta oleh salah satu personelnya, Henry Irawan yang dikenal dengan nama panggungnya, Henry "Batman" Foundation.

Grup musik ini terinspirasi dari musisi di era awal 80-an dan 90-an seperti Depeche Mode, The Cure, Kraftwerk,Yazoo, Belle and Sebastian dan The Lighting Seeds. Goodnight Electric mencoba mengkombinasikan musik electro,pop dan new wave dengan menggunakan synthesizer dan komputer sebagai media utamanya. Didukung oleh Bondi Goodboy dan oomleo dalam pertunjukan live, Goodnight Electric berkembang menjadi sebuah formasi trio dance group. 

Goodnight Electric merilis sebuah debut album "Love and Turbo Action" pada akhir tahun 2004 di bawah naungan label HFMF Records dengan beberapa singel seperti "Am I Robot?" dan "Rocket Ship Goes By" yang berhasil mendapatkan apresiasi serta perhatian yang cukup baik di masyarakat pencinta musik di Indonesia, khususnya di kalangan remaja Jakarta. Rebecca "Becca" Theodora, mantan backing vocal The Upstairs, Rumah Sakit dan Straight Out turut berperan dalam kesuksesan album Love And Turbo Action, dimana dia menyumbangkan suaranya dalam kebanyakan lagu di album tersebut. 

Debut yang cukup baik ini turut dibantu oleh rekan-rekan media dan juga support dari berbagai macam kalangan sehingga Goodnight Electric berhasil mendapatkan nominasi Best New Artist di MTV Indonesia Music Award 2005,Best Live Performing Artist di Paranoia Award Hard Rock FM Jakarta 2005 dan berpartisipasi dalam berbagai ragam event musik dari dance music festival (festival musik dance), pentas seni hingga charity event (penggalangan dana).

H.F.M.F Records kembali merilis ulang (repackage) album "Love and Turbo Action (Silver Album)" pada tahun 2005 dengan tiga tambahan materi Remix dari DJ. Oreo, Ape On The Roof, dan The Adams. Pada akhir tahum 2005 Goodnight Electric menandatangani kontrak dengan JTB Records, sebuah perusahaan rekaman dari Jepang untuk merilis "Love and Turbo Action (Green Album)" yang dirilis dan didistribusikan di Jepang pada awal tahun 2006.

Tiga tahun setelah merilis album Love and Turbo Action, Goodnight Electric merilis album kedua mereka yang diberi judul Electroduce Yourself di bawah naunganlabel rekaman indie asal Jakarta, Aksara Records. Dengan desain sampulnya yang ikonik, album ini memuat 12 lagu electronic yang sangat berorientasi ke musik dance.


6. SUPERMAN IS DEAD



     Tiga anak muda asal Bali yang bernama Bobby Kool (vokal), Eka Stone (bas) dan Jrx (drum) bertemu dan kemudian membentuk Superman is Dead (SID). Sebuah band beraliran punk yang akhrinya dikenal secara internasional.

Ketertarikan mereka pada musik punk rock dipengaruhi oleh kecintaan mereka terhadap Green Day dan NOFX. Seiring waktu, perkembangan musik mereka pun diperluas ke genre Punk ‘n Roll  ala Supersuckers, Living End dan Social Distortion.

Perjalanan karir SID boleh dibilang cukup menggemparkan industri musik Indonesia. Eksistensi band tersebut menjadikan mereka sebagai pionir band punk rock asal Bali yang telah go internasional. Tiga album telah mereka garap sendiri tanpa dukungan perusahaan rekaman besar, yakni “Case 15″ pada tahun 1997, “Superman is Dead” di tahun 1999, “Bad Bad Bad” (mini album, 6 lagu ) tahun 2002.
Di akhir tahun 2002, salah satu majalah musik terbesar d Indonesia menabiskan Superman Is Dead sebagai “The Next Big Thing” setelah SID merilis album keempat mereka “Kuta Rock City”. Single andalan mereka pun wara wiri diputar oleh stasiun radio utama nasional bahkan berkumandang di beberapa negara di luar negeri.

Beberapa penghargaan internasional pun pernah dirasakan oleh mereka. SID pernah meraih MTV Awards untuk “The Best New Artist 2003″, AMI Awards untuk “The Best New Artist 2003″ dan dinominasikan lagi di AMI Awards 2006 untuk “The Best Rock Album”.  Superman Is Dead membuktikan bahwa mereka tidak jago kandang, berbagai tur di mancanegara telah mereka jalani seperti tur 8 kota di Australia pada tahun 2007. Serangkaian tur di Amerika juga mereka lakukan di tahun 2009.

Tanpa banyak omong Superman Is Dead telah mengangkat nama Indonesia di kancah musik internasional. SALUTE!!!


5. BURGERKILL


     Burgerkill adalah sebuah band Metal Hardcore yang berasal dari kota Bandung. Nama band ini diambil dari sebuah nama restaurant makanan siap saji asal Amerika, yaitu Burger King, yang kemudian oleh mereka diparodikan menjadi "Burgerkill".

Burgerkill berdiri pada bulan Mei 1995 berawal dari Eben, seorang gitaris Jakarta yang pindah ke Bandun
g untuk melanjutkan sekolahnya. Dari sekolah itulah Eben bertemu dengan Ivan, Kimung, dan Dadan
sebagai line-up pertamanya. Band ini memulai karirnya sebagai
sebuah side project, just a bunch of metal kids jamming their axe-hard sambil menunggu band orisinilnya dapat panggilan manggung. Tapi tidak buat Eben, dia merasa bahwa band ini adalah hidupnya dan berusaha berfikir keras agar Burgerkill dapat diakui di komunitasnya.

Ketika itu mereka lebih banyak mendapat job manggung di Jakarta melalui koneksi teman-teman Hardcore Eben, dari situlah antusiasme masyarakat underground terhadap Burgerkill dimulai dan fenomena musik keras tanpa sadar telah lahir di Indonesia. Walhasil line-up awal band ini pun tidak berjalan mulus, sederet nama musisi underground pernah masuk jajaran member Burgerkill sampai akhirnya tiba di line-up solid saat ini.

Ketika mereka berhasil merilis single pertamanya lewat underground fenomenal Richard Mutter yang merilis kompilasi cd band-band underground Bandung pada awal 1997. Nama lain seperti Full Of Hate, Puppen, dan Cherry Bombshell juga bercokol di kompilasi yang berjudul "Masaindahbangetsekalipisan" tersebut. Memang masa itu masa indah musik underground. Everything is new and new things stoked people! lagu Revolt! dari Burgerkill menjadi nomor pembuka di album yang terjual 1000 keping dalam waktu singkat ini. Pada akhir tahun 1997 mereka kembali ikut serta dalam kompilasi "Breathless" dengan menyertakan lagu "Offered Sucks" didalamnya.

Awal tahun 1998 perjalanan mereka berlanjut dengan rilisan single Blank Proudness, pada kompilasi band-band Grindcore Ujungberung berjudul "Independent Rebel". Yang ketika itu dirilis oleh semua major label dengan distribusi luas di Indonesia dan juga di Malaysia. Setelah itu nama Burgerkill semakin banyak menghias concert flyers di seputar komunitas musik underground. Semakin banyak fans yang menunggu kehadiran mereka diatas panggung. Burgerkill sang Hardcore Begundal!

Pada awal tahun 1999, mereka mendapat tawaran dari perusahaan rekaman independent Malaysia, Anak Liar Records yang berakhir dengan deal merilis album Three Ways Split bersama dengan band Infireal (Malaysia) dan Watch It Fall (Perancis). Hubungan dengan network underground di Malaysia dan Singapura berlanjut terus hingga sekarang. Burgerkill menjadi langganan cover zine independent di negara-negara tersebut dan berimbas dengan terus bertambahnya fans mereka dari negeri Jiran.

Di tahun 2000, akhirnya Burgerkill berhasil merilis album perdana mereka dengan title "Dua Sisi" dan 5000 kaset yang di cetak oleh label indie asal Bandung, Riotic Records ludes habis dilahap penggemar fanatik yang sudah tidak sabar menunggu sejak lama. Di tahun yang sama, band ini juga merilis single "Everlasting Hope Never Ending Pain" lewat kompilasi "Ticket To Ride", sebuah album yang benefitnya disumbangkan untuk pembangunan sebuah skatepark di kota Bandung.

Beberapa Mainstream Achievement pun sempat mereka rasakan, salah satunya menjadi nominator Band Independent Terbaik ala majalah NewsMusik di tahun 2000. Awal tahun 2001 pun mereka berhasil melakukan kerjasama dengan sebuah perusahaan produk sport apparel asal Amerika: Puma yang selama 1 tahun mensupport setiap kali Burgerkill melakukan pementasan. Dan sejak Oktober 2002 sebuah produk clothing asal Australia yang bernamaINSIGHT juga mensupport dalam setiap penampilan mereka.

Sebuah kejutan hadir pada pertengahan tahun 2004, lewat album "Berkarat" Burgerkill masuk kedalam salah satu nominasi dalam salah satu event Achievement musik terbesar di Indonesia "Ami Awards". Dan secara mengejutkan mereka berhasil menyabet award tahunan tersebut untuk kategori "Best Metal Production". Sebuah prestasi yang mungkin tidak pernah terlintas di benak mereka, dan bagi mereka hal tersebut merupakan sebuah tanggung jawab besar yang harus mereka buktikan melalui karya-karya mereka selanjutnya.

Akhirnya mereka sepakat untuk merilis album ke-3 "Beyond Coma And Despair" di bawah label mereka sendiri Revolt! Records di pertengahan Agustus 2006. Album ketiga yang memiliki arti sangat dalam bagi semua personil Burgerkill baik secara sound, struktur, dan format musik yang mereka suguhkan sangat berbeda dengan dua album sebelumnya. Materi yang lebih berat, tegas, teknikal, dan berani mereka suguhkan dengan maksimal disetiap track-nya.

Namun tak ada gading yang tak patah, sebuah musibah terbesar dalam perjalanan karir mereka pun tak terelakan, Ivan sang vokalis akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya ditengah-tengah proses peluncuran album baru mereka di akhir Juli 2006. Peradangan pada otaknya telah merenggut nyawa seorang ikon komunitas musik keras di Indonesia. Tanpa disadari semua penulisan lirik Ivan pada album ini seolah-olah mengindikasikan kondisi Ivan saat itu, dilengkapi alur cerita personal dan depresif yang terselubung sebagai tanda perjalanan akhir dari kehidupannya.

Akhirnya setelah melewati proses Audisi Vokal, mereka menemukan Vicki sebagai Frontman baru untuk tahap berikutnya dalam perjalanan karir mereka. Dan pada awal Januari 2007 mereka telah sukses menggelar serangkaian tour di kota-kota besar di Pulau Jawa dan Bali dalam rangka mempromosikan album baru mereka.

Target penjualan tiket di setiap kota yang didatangi selalu mampu mereka tembus, dan juga ludesnya penjualan tiket di beberapa kota menandakan besarnya antusiasme masyarakat musik cadas di Indonesia terhadap penampilan Burgerkill.

Tak hanya berjaya di Tanah Air, band beraliran metal asal Bandung, Burgerkill pun juga merasakan kemeriahan mendapat sambutan dari para metelhead Eropa saat manggung di festival musik Wacken Open Air 2015 (Jerman) dan Bloodstock Open Air 2015 (Inggris). Penampilan Burgerkill di atas panggung pun mendapat pujian. Tampak salah seorang panitia memuji penampilan band yang diagwangi oleh Vicky (vokal), Eben (gitar), Agung (gitar), Ramdan (bass) dan ‘Abah’ Andris (drum) tersebut.

 “Saya ingin kalian manggung di panggung besar tahun depan. Terima kasih untuk pertunjukan ynag luar biasa ini,” kata salah seorang panitia bersemangat. “Orang-orang ini adalah bedebah paling keren. Serius, saya telah melihatnya. Semuanya sempurna, sound, penampilan. Saya suka,” ujar yang lainnya.

Tak hanya sibuk manggung di sana, rupanya Burgerkill juga ikut mempromosikan musik metal Indonesia ke dunia internasional. Yakni dengan cara sengaja berkemah di area yang sama dengan para metalhead (penggemar musik metal) sebelum tampil di festival Wacken Open Air di Jerman pada 31 Juli lalu, dalam rangka Bandung Blasting Euro Tour 2015.
 “Kami datang ke sana bukan hanya tampil di panggung saja tapi kami juga ikut nge-camp di sana bareng metalhead dari seluruh dunia. Kami lakukan itu untuk mempromosikan musik metal Indonesia kepada mereka, tentang bagaimana seluk beluk musik metal di Indonesia,” kata Eben seperti dikutip dari Kompascom

Eben mengatakan, promosi musik metal harus dilakukan dengan turun tangan dan berkomunikasi langsung bersama para penikmat genre musik tersebut. Sementara itu, Wacken Open Air 2015 dan Bloodstock Open Air 2015 sendiri merupakan dua dari sejumlah festival musik rock terbesar di Eropa

4. WHITE SHOES & THE COUPLES COMPANY



     Siapa yang tak kenal dengan band satu ini, band yang mengusung tema tahun 70-an untuk menjadi ciri khas mereka.
White Shoes & The Couples Company adalah sebuah kelompok musik yang membawakan musik Pop Indonesia. Musiknya banyak dipengaruhi oleh lagu-lagu dalam soundtrack film Indonesia tahun 70-an, dan terinspirasi dengan semangat akustik para musisi classic jazz tahun 30-an. Ditambah dengan classic strings arrangements yang dibubuhi oleh irama retro disco, easy listening acoustic ballads dan sedikit sentuhan nada dari keyboard mainan anak-anak keluaran akhir tahun 70-an.
White Shoes & The Couples Company terbentuk pada tahun 2002 disebuah kampus kesenian dibilangan Jakarta Pusat. Dua mahasiswa Seni Rupa, Aprilia Apsari (Sari) & Yusmario Farabi (Rio), yang sedang menjalin hubungan asmara memutuskan untuk membuat sebuah grup musik, dengan mengajak teman dekat satu fakultas mereka yang bernama Saleh. Maka terbentuklah formasi pertama grup musik White Shoes & The Couples Company. Sari pada posisi vokal & violin, Rio pada posisi gitar rythm serta Saleh pada posisi gitar melodi. Atas dasar kebutuhan, kemudian Sari & Rio mengajak sepasang suami istri dari fakultas musik, Ricky pada posisi Bass & Cello serta Mela pada posisi Keyboard, Piano & Viola. Terakhir Ricky mengusulkan untuk merekrut kenalannya, John Navid yang juga dari fakultas musik menduduki posisi drummer.
White Shoes & The Couples Company kemudian merilis debut albumnya pada tahun 2005 lewat label Aksara Records dan didistribusikan oleh Universal Music Indonesia. Selain itu White Shoes & The Couples Company juga turut mengisi album soundtrack film “Janji Joni” dan “Berbagi Suami” produksi Kalyana Shira Films.
Setelah sukses dengan album perdananya, White Shoes & The Couples Company memproduksi mini album (EP) berjudul ”Skenario Masa Muda” yang dirilis oleh Aksara Records pada bulan September 2007. Mini album kali ini berjalan berkesinambungan dengan pergerakan melestarikan filem Indonesia masa lalu yang bekerjasama dengan Kineforum(Komite Film Dewan Kesenian Jakarta) dan Pusat Arsip Film Sinematek Indonesia.
White Shoes & The Couples Company juga telah menandatangani kontrak dengan Minty Fresh Records, sebuah label rekaman yang berasal dari Chicago, Amerika Serikat.
Sebelumnya, di bulan Januari 2007, pihak Minty Fresh Records bertemu dengan Aksara Records, yang kemudian sepakat memberikan lisensi kepada Minty Fresh untuk merilis album pertama White Shoes & The Couples Company.
Pada bulan September 2007 lalu, Minty Fresh Records merilis album pertama White Shoes & The Couples Company di lima wilayah yaitu Amerika Serikat, Mexico, Kanada, Australia dan Jepang. Dalam album rilisan Minty Fresh ini, White Shoes & The Couples Company menambahkan 2 bonus lagu yaitu Kapiten & Gadis Desa, dan Sabda Alam.
Artis-artis yang tergabung dalam Minty Fresh antara lain The Cardigans, Tahiti 80, Veruca Salt, Liz Phair, The Legendary Jim Ruiz Group, Kahimi Karie, Komeda, Ivy, The Poems, dan Prototypes.
DISCOGRAPHY
2005
- OST “Janji Joni” (Aksara Records) single “Senandung Maaf”
- White Shoes & The Couples Company s/t (Aksara Records / Universal)
2006
- Kompilasi “Thursday Riot” (Parc Suddenly Records / Kenanga Records) single
"Kapten & Gadis Desa"
- OST “Berbagi Suami’ (Aksara Records) single “Sabda Alam”(cipt. Ismail Marzuki) “Bersandar”
2007
- "MESIN WAKTU" Compilation (2007/Aksara Records) single "Mesin Waktu"(written by NAIF)
- White Shoes & The Couples Company s/t ( September 2007 / Aksara Records -
Minty Fresh Records)
- “Skenario Masa Muda” EP (September 2007 / Aksara Records)
- OST “Quickie Express” (November 2007 / Aksara Records)
2008
- Kompilasi Kampus 24 Jam Hits (Januari 2008 / Kampus 24 Jam Hits records)
single “Nothing to Fear (2007)”
- Album Kompilasi Siaga Bencana “Science in Music” (Agustus 2008 / LIPI & Electrified Records)
single “Zamrud Khatulistiwa”
- “Skenario Masa Muda” EP (Oktober 2008 / Minty Fresh Records)
2009
- “Senja Menggila” single (Juli 2009 / Aksara Records / YesNoWave)
- White Shoes & The Couples Company s/t ( Avant Garden Records – Taiwan)
INTERNATIONAL PERFORMANCES
2006
- JAVA JAZZ International Music Festival at Jakarta Hilton Convention Center, Jakarta, Indonesia
- SOUNDSHINE Music Festival at Annex Building, Jakarta, INDONESIA
With Kings of Convenience(Norway), Mocca(Indonesia)
- MELODY OF LIFE Music Festival at Central World Plaza, Bangkok, Thailand with Orwell (France)
Sweater (Korea)
2008
- SXSW Music Festival 2008, Austin At Habana Calle Annex, Austin, Texas, USA
- CMJ Music Marathon Festival 2008, New York at Spike Hill, Brooklyn, New York, USA
- U.O.X. Play, Sungai Wang Plaza, Kuala Lumpur, MALAYSIA
(jml)

3. GUGUN BLUES SHELTER



       Group band yang satu ini juga tidak kalah dengan para senior atau pendahulunya. Gugun Blues Shelter  juga sukses menembus pasar International. Gugun Blues Shelter, atau Gugun and The Blues Shelter (seringkali disingkat GBS) adalah band Indonesia ber-aliran blues, yang dibentuk Jakarta, Indonesia, pada tahun 2004. Para anggotanya saat ini antara lain Gugun (gitar), Jono (bass) and Bowie (drum). Merka telah merilis tiga album, Get The Bug (2004), Turn It On (2007) dan Gugun Blues Shelter (2010).

Grup musik ini terbentuk pada tahun 2004 untuk bermain di blues bars di Jakarta. Mereka telah bermain di jazz clubs dan festival. Mereka ter-inspirasi oleh Jimi Hendrix, Stevie Ray Vaughan, Betty Davis, dan Led Zeppelin.[2] Pada awalnya, nama dari band ini adalahThe Blues Bug, yang mana akhirnya diganti menjadi Blue Hand Gang, dan selanjutnya menjadi Gugun Blues Shelter. Mereka mengganti nama band mereka karena sebuah band asal Yunani telah memakai nama Blues Bug selama sepuluh tahun.

Pada akhir 2004, mereka merilis album independen pertama mereka, Get the Bug. Musisi yang tampil di dalam album ini antara lain Gugun, Jono, dan Iskandar.

Di awal 2007, tmereka merilis album kedua, Turn It On, oleh Sinjitos Records.  The album was voted as one of the best Indonesian albums of 2007 by Rolling Stone Indonesia. Album ini juga dipilih sebagai "The number one blues album of the year", dengan Gugun yang terpilih sebagai Gitaris blues terbaik se Asia Tenggara, di tahun 2007 oleh MTV Trax Magazine.

Bowie bergabung dengan band di tahun 2007[ (or 2008), menggantikan Iskandar pada drum.
Pada tahun 2010, mereka secara independen merilis album dengan nama mereka sendiri sebagai pengganti terhadap album Set My Soul on Fire mereka, yang batal rilis menyusul konflik dengan label mereka.
Pada tahun 2011, Gugun Blues Shelter dipilih oleh juri melalui pemilihan online dari para fans untuk memenangi Kompetisi the Hard Rock Café’s Global Battle Of The Bands, memperingati Ulang tahun Hard Rock Café yang ke-40. Mereka dijadwalkan untuk tampil pada hari Minggu, 26 Juni 2011 di Hyde Park, bersama dengan Bon Jovi, Rod Stewart danThe Killers.

Gugun Blues Shelter memang tak mau setengah-setengah. Kini, mereka bergabung di bawah naungan Grooveyard Record, sebuah label kumpulan dari gitaris top dunia yang bermarkas di Amerika. Album mereka juga sudah dirilis di Negeri Paman Sam, yang hanya dipasarkan di Benua Amerika dan Eropa. Wah, hebat bukan. Sukses terus buat Gugun Blues Shelter.

2. THE S.I.G.I.T

“Yang diperlukan untuk membuat sebuah band dan mengupayakan supaya bandnya bisa sukses atau setidaknya berjalan terus adalah kesungguhan dan usaha, sisanya adalah murni unsur keberuntungan.”  - Rektivianto Yoewono, vokalis THE S.I.G.I.T


      The S.I.G.I.T  bukanlah sebuah band karbitan yang sekedar mengandalkan unsur keberuntungan. Perjalanan karir mereka dimulai dari pertemanan semenjak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Proses demi proses mereka lalui hingga kini The S.I.G.I.T banyak dianggap sebagai salah satu grup musik garda depan dari generasi muda di dunia musik rock Indonesia.

Pada awalnya, para personil The S.I.G.I.T yakni Rektivianto Yoewono (Vocal, gitar), Farri Icksan Wibisana (Gitar), Aditya Bagja Mulyana (Bas, vokal latar) dan Donar Armando Ekana / Acil (Drum) hanyalah sekumpulan pecinta musik akut yang setiap hari di kepala mereka berisi band-band favorit serta segala seluk beluk teknis musik seperti gitar, efek ataupun cerita-cerita biografi. “Mungkin tarafnya sama seperti anak remaja yang menggilai pemain bola dan tim sepak bola,“ kenang Rekti mengenai masa remajanya dulu.

Berangkat dari kecintaan yang dalam terhadap musik serta mengidolakan berbagai band yang sama, maka kala itu mereka berempat sepakat untuk mengubah predikat selama ini dari pendengar musik menjadi pemain musik.
Kemampuan bermain musik yang mereka pelajari secara otodidak menjadi modal awal untuk menjadi ‘anak band’. “Skill permainan masing-masing juga berawal dari tahap yang sama dan pengembangan skill permainan dan pembuatan lagu juga diasah bareng selama ini,” tukas Rekti.

Walau sudah bermain musik bersama sedari SMP (1997), namun nama The S.I.G.I.T baru digunakan pada tahun 2002, saat mereka tengah duduk di bangku perguruan tinggi seiring juga mereka memfokuskan diri untuk memainkan lagu-lagu ciptaan sendiri. Sebelum menggunakan nama The S.I.G.I.T, band ini kerap memainkan berbagai lagu dari banyak band idola mereka seperti Led Zeppelin, The Clash dan The Stooges.
Nama The S.I.G.I.T sendiri merupakan kepanjangan dari The Super Insurgent Group of Intemperance Talent yang merupakan buah pikiran Rekti yang terinspirasi dari nama-nama band di luar sana yang kerap menggunakan singkatan yang memiliki banyak arti.
Penampilan perdana mereka di bawah nama The S.I.G.I.T terjadi pada tanggal 23 Oktober 2003 dalam sebuah acara fakultas Arsitektur, Universitas Parahyangan. Kebetulan Farri dan Acil memang berkuliah disana. Setelah penampilan perdana tersebut, nama The S.I.G.I.T pelan-pelan mulai bergaung di kalangan kampus. Acara demi acara di kampus mulai menjadi santapan mingguan mereka.
Hingga pada saat itu, mereka mendapat tawaran dari Spills Records untuk merilis sebuah mini album. Di tahun 2004, debut mini album yang hanya dikerjakan dalam waktu dua minggu akhirnya dirilis dan mendapat sambutan positif dari berbagai pihak. Walau begitu, pemunculan mereka kala itu juga tidak lepas dari komentar miring sebagian pihak yang menganggap mereka hanyalah band yang mengikuti tren saja. Anggapan itu muncul karena musik rock yang mereka mainkan serupa dengan musik garage rock yang di awal periode 2000-an sedang naik daun. Untuk anggapan miring tersebut, Rekti berpendapat, “Memang kebetulan pada era awal 2000an sedang marak band-band rock revival seperti The Strokes, The Datsuns, The White Stripes dan mereka saat itu ‘dilabeli’ sebagai garage rock. Memang kami mengikuti dan mendengarkan band-band tersebut. Bukan karena sedang booming, melainkan karena kami selalu menggemari musik semacam itu. Dan yang kami rasakan saat itu adalah euforia. Bayangkan gimana rasanya aliran musik yang anda gemari bangkit kembali dan bermunculan lagi band-band yang menarik. Namun tanpa adanya booming garage rock pun saya yakin kami akan menjadi band seperti kami sekarang, yang mendapatkan banyak influence dari band rock 60-70an.”

Promosi Word of Mouth
The S.I.G.I.T adalah satu dari sekian band yang lahir di periode 2000 di Bandung. Sebuah masa dimana menurut mereka adalah stagnan dan pasif jika dibandingkan dengan periode musik era 90-an di Bandung. “Kalau dilihat dari intesitas acara, tahun 90’an scene-nya lebih hidup. Walaupun acara-acara yang diadakan masih modal udunan (patungan) dan non-profit, namun semua pelaku yang terlibat di dalamnya sangat aktif dan sungguh-sungguh. Etos DIY (Do It Yourself) sangat kuat pada masa itu. Hampir semua band yang punya lagu sendiri merilis album (dengan modal sendiri juga),” ucap Rekti.
Namun walau The S.I.G.I.T lahir di era musik yang bisa dikatakan tidak cukup bergeliat dibandingkan era sebelumnya, mereka mengakui bahwa peran berbagai komunitas yang tersebar di Bandung ini cukup berperan pada karir mereka pada khususnya dan karir banyak band independent lainnya di kota Bandung. Semenjak periode 90-an, Bandung dikenal sebagai kota kreatif yang memiliki ikatan berbagai komunitas yang cukup kuat. Dari situlah, semua sektor yang ada saling melengkapi.

“Komunitas itu biasa terbentuk tanpa sengaja. Biasanya awalnya hanya bermain bersama dan berlanjut menjadi sebuah kegiatan bersenang-senang. Hal ini membuat orang-orang yang terlibat menjadi lebih santai. Lebih mengedepankan sisi kekeluargaan atau pertemanan serta mudah berbaur. Makanya jarang ada perselisihan antar komunitas karena batas antara komunitas yang satu dengan yang lainnya juga tidak jelas. Keuntungan dari kondisi tersebut adalah: semua orang kenal semua orang (everyone knows everyone) dan relasi terjalin lebih mudah dan cepat. Kemudian terjadilah penyebaran berita mengenai sebuah band (word of mouth), berita sampai ke tangan orang yang tepat (radio, majalah, label, dll yang biasanya juga masih dalam lingkaran everyone knows everyone) Pada akhirnya sebuah band mendapatkan apa yang mereka butuhkan.” kata Rekti.
Hubungan erat antar komunitas ini terus berjalan beriringan. Semua sektor saling terkait. Dari musik hingga fashion. Dari sini, musik pun dapat menjadi salah satu faktor pendukung industri kreatif. Contoh paling nyata adalahmerchandise band. Rekti berpendapat, “Penjualan merchandise seperti kaos adalah contoh komoditi ekonomi sebuah band yang paling gamblang. Jika sebuah band memiliki penggemar yang banyak dan memiliki produk merchandise yang menarik tentunya penjualannya akan berbanding lurus. Menurut saya sih hubungan antara band dan sebuahclothing adalah mutual. Sebuah band yang bagus akan menarik perhatian pembeli produkclothing. Sebaliknya sebuah clothing yang kredibilitasnya bagus akan membantu mengangkat nama band.”
Satu hal yang pasti, target pasar dari penjualan merchandise sebuah band adalah penggemar dari si band itu sendiri. Semakin besar komunitas penggemar pada sebuah band, maka akan besar juga kemungkinan merchandise tersebut akan dikonsumsi. Untuk The S.I.G.I.T mereka telah memiliki basis penggemar yang cukup besar. Penggemar The S.I.G.I.T menamakan diri mereka sebagai The Insurgent Army.

The Insurgent Army berawal dari penggemar yang dulu bersekolah di Taruna Bakti. Mereka selalu hadir dalam setiap pertunjukkan dan selalu bertambah jumlahnya setiap kalinya. “Peran penggemar yang paling terasa adalah upaya mereka dalam membantu kami menyebarkan berita atau word of mouth. Semakin luas cakupan word of mouth, semakin kuat fanbase. Maka dari itu bisa saya katakan kalau The S.I.G.I.T bisa seperti sekarang karena bantuan dan antusiasme dari fanbase. Tanpa ada mereka kami tidak akan seperti sekarang mengingat minimnya coverage dari media besar seperti televisi,” ujar Rekti mengenai basis penggemar The S.I.G.I.T yang ia sangat hargai itu.

Berbicara di Dunia Internasional
Dengan ramuan musik yang rancak serta basis penggemar yang besar, pada perjalanan karir selanjutnya, The S.I.G.I.T menjadi incaran dari berbagai label musik. Pilihan mereka lalu jatuh kepada FFCUTS, sebuah divisi khusus musik rock dari label FFWD yang dikenal sukses menaungi band Mocca. Di bulan Desember 2006, The S.I.G.I.T akhirnya merilis debut album penuh mereka yang bertajuk Visible Idea of Perfection. Tidak berapa lama, sebuah label asal Australia, Caveman juga tertarik untuk merilis album The S.I.G.I.T di negeri kangguru. Maka pada bulan Juni 2007, album Visible Idea of Perfection resmi beredar di seluruh Australia. Dan untuk mendukung promo album, pada tahun yang sama, The Sigit menggelar tur selama sebulan penuh dimana mereka bermain di sembilan kota dan tampil di 16 panggung berbeda.

Setelah itu, nama The S.I.G.I.T kian bergaung di dunia internasional. Di tahun 2008 mereka diundang tampil dalam salah satu festival musik terbesar di Amerika Serikat, South by Southwest (SXSW) di Texas. Namun karena bermasalah dengan visa, maka kepergian mereka akhirnya ditunda hingga tahun 2009 dimana mereka tidak hanya tampil dalam festival SXSW, namun juga tampil di panggung-panggung pada kota Los Angeles dan San Fransisco.

Banyak pengalaman dan pelajaran yang dipetik oleh mereka selama perjalanan ke luar negeri. “Kesan yang paling bersisa adalah pengalaman mengamati pola kerja band disana. Bagaimana mereka menjalani sebuah tur, mempersiapkan diri mereka, penampilan mereka. Banyak hal yang kami pelajari dalam hal-hal terebut. Mereka sangat sistematis. Mungkin karena infrastruktur industri hiburan dan musik sudah mapan sehingga segalanya seperti memudahkan musisi dalam bekerja. Di sana seorang musisi atau band tidak perlu pusing dengan masalah sepele seperti venue, peralatan, ketepatan waktu, keamanan,equipment dan hal kecil lainnya. Mereka hanya dipusingkan oleh masalah bagaimana membuat lagu yang bagus dan bagaimana menampilkan sebuah pertunjukkan yang menarik. Makanya mereka terlihat lebih fokus dengan apa yang mereka kerjakan,” jelas Rekti panjang lebar.

Antara Materi dan Kesuksesan
Sementara itu apa yang terjadi di kehidupan para personil The S.I.G.I.T itu sendiri hingga saat ini mereka belum tentu bisa 100 persen fokus terhadap kegiatan bermusik yang mereka cintai. Yang menjadi dasar, tentunya faktor penghasilan yang belum bisa menghidupi secara keseluruhan. Karena itu di sela-sela kegiatan bermusik, beberapa personil The S.I.G.I.T masih ‘harus’ menjalani kegiatan pekerjaan lainnya.

Rekti mengakui bahwa keinginan untuk menjadi full time musician itu sebenarnya telah ada di benak mereka. “Alangkah indahnya kalau kami bisa menjadikan band sebagai full time. Kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan. Penghasilan yang didapat dari band saat ini masih menjadi pendukung untuk mengemban inventaris peralatan. Uang yang kami dapat dari band biasanya digunakan untuk beli peralatan musik dalam rangka mendukung pembuatan lagu yang kami idam-idamkan. Saya jadi teringat wejangan dari seseorang yang pernah bilang ‘usaha dulu yang tekun, uang pasti menyusul.’ Kalau mikir uang terus jadinya stres. Selama masih bisa ngeband tanpa harus menjual barang, saya pribadi sih enggak apa-apa. Lagi pula saya pribadi enggak punya hasrat terhadap harta yang berlebih. Kalau kaya pun pasti uangnya buat beli alat musik atau piringan hitam. Jadi menurut saya, saat ini tahap band kami adalah full time musician for musical purpose dan another job for another purpose.”
Dengan berbagai penghargaan dan popularitas yang mereka dapat sejauh ini, The S.I.G.I.T mengaku masih berusaha keras untuk dapat menghasilkan karya sebagus mungkin. Karena mereka merasa masih belum puas dengan apa yang telah dihasilkan selama ini. “Yang pasti kita nggak pengen cepet puas karena kalau udah puas akan kehilangan tujuan.”
Bagi The S.I.G.I.T definisi sukses bagi sebuah band bukan hanya dinilai dari materi. Sukses bisa berasal dari berbagai unsur lain selain materi. Dari awal terbentuk, mereka menjalani karir musik ini tanpa ambisi yang besar. Bagi mereka, lebih baik fokus berkarya dan terus bertahan daripada hanya memikirkan bagaimana bisa mendapatkan uang yang banyak dari bermain band. Menurut Rekti, “Kalau ngeband dengan persepsi suksesnya materi, lebih baik cari kerjaan lain aja.” 


1. MOCCA


       


          BANDUNG – Nama grup musik Mocca asal bumi parahyangan Bandung ini memang belum setenar grup musik Slank atau Gigi. Namun, tidak berarti grup musik ini kalah hebatnya BANDUNG – Nama grup musik Mocca asal bumi parahyangan Bandung ini memang belum setenar grup musik Slank atau Gigi. Namun, tidak berarti grup musik ini kalah hebatnya dengan kedua kelompok musik tersebut. Yang membedakan barangkali hanyalah jam terbang. Slank dan Gigi lebih awal muncul sementara Mocca baru lahir sekitar bulan Juli 2001.dengan kedua kelompok musik tersebut. Yang membedakan barangkali hanyalah jam terbang. Slank dan Gigi lebih awal muncul sementara Mocca baru lahir sekitar bulan Juli 2001.
Walaupun masih terbilang baru, kiprah Mocca dalam dunia musik tanah air sudah harus diperhitungkan. Itu karena Mocca merupakan satu kesatuan, dari alat musik hingga lagu yang mereka ciptakan sendiri. Mereka memang telah berkomitmen bahwa sebuah karya musik bisa dikatakan lengkap bila corak dan warna musik tersebut tidak menjiplak musik orang lain. Buah karya sendiri jauh lebih baik dan bisa menegaskan kekhasan serta eksistensi kelompok ini.
”Kami berangkat dari hobi, kemudian hobi tersebut kami kembangkan. Masing-masing mengambil bagian yang sesuai dengan talenta yang dimiliki. Kesempatan untuk unjuk diri datang di malam inagurasi mahasiswa baru, 8 November 2001, sekaligus sebagai malam pertama kami manggung,” jelas Jenny, PR Mocca Band, kepada SH pekan lalu di markasnya Jl. Setia Budi Bandung.

Indie Label
Kemunculan Mocca tidak lepas dari perjuangan Riko Prayitno (gitar) dan Arina Ephipania (vokal dan flute). Permainan musik keduanya membuat kaget sesama rekan mahasiswa sekampus. Sebab, hanya dengan dua personel yang dirajut dua alat musik, yaitu gitar dan flute, mereka bisa membuat rekan-rekannya terpesona.
Satu per satu lagu mereka bawakan dalam setiap kesempatan dan akhirnya mendorong rekan-rekannya untuk mengikuti jejaknya. Namun, barangkali karena kurang sesuai dengan napas anak muda, penikmat karya pasangan ini memudar, meski keduanya sempat menciptakan lagu berjudul ”My Diary”.
Di tengah lesunya denyut peminat Mocca, dua anak muda ini tetap terus berjuang dengan mencipta lagu demi lagu, masih dalam format akuistik yang terdiri dari ramuan gitar, vokal dan flute. Akhinya pada tahun 1999, Riko dan Arina menggandeng Achmad Pratama (bas), Indra Massad (dram) untuk mendukungnya demi terwujudnya sebuah format band.
Mengapa mesti pilih nama ”Mocca”? Kata Jenny, yang menyitir alasan Riko adalah hanya ingin mudah atau gampang diingat dan dikenal oleh siapa pun.
”Mocca, sangat singkat, mudah diingat dan dapat dilafalkan dalam bahas Inggris maupun Indonesia. Yang perlu digarisbawahi, kendati tahun 1999 itu, Mocca sudah muncul dengan dua personel (Rico dan Arina), tetapi secara formalnya nama Mocca itu mulai diperkenalkan pada tahun 2001,” kata Jenny.
Masih terbayang pada bulan Juli 2001 dalam acara flower pop, kala itu mereka belum memiliki album sendiri, baru sebatas ikut album kompilasi. ”Namun, justru itulah kenangan yang paling berkesan. Dalam perasaan kami, itu benar-benar sebuah konser besar sebab merupakan perpaduan antara panggung, akustik dan penonton yang sangat apresiatif,” lanjut Jenny.
Keunikan yang juga melekat pada Mocca sejak kelahirannya adalah lagu-lagu berlirik bahasa Inggris. Ada catatan kecil tentang obsesi Mocca yang tak ingin besar hanya di kandang sendiri, melainkan bisa go international. Itulah alasan mengapa Mocca tetap bertahan dengan mengutamakan ”lirik prosodi” yaitu penyesuaian antara lirik dan nada yang dimainkan.
Kualitas bermusik yang dimiliki Mocca tak membuat kelompok ini berangan-angan untuk bernaung di salah satu label rekaman besar. Untuk mewujudkan idealisme, mereka memilih untuk merekam lagu-lagu pada indie label. Namun, kebetulan sekali, Fast Forward Record yang menaungi Mocca memiliki akses untuk merilis album Mocca di Prancis. Sebab, selama ini, Fast Forward Record juga memasarkan album-album indie dari Swedia dan Prancis. Kerja sama yang berimbal balik ini membuka peluang Mocca untuk mewujudkan obsesi mereka untuk go international.

Buku Harian
Dalam album ”My Diary”—diambil dari lagu yang menjadi unggulan, terangkum 13 lagu yang seluruhnya diciptakan para personel Mocca. Layaknya sebuah buku harian, album ini bercerita tentang kehidupan cinta sehari-hari. Tokohnya seorang gadis yang memiliki seorang pengagum rahasia. Awalnya, sang gadis tidak membalas cinta sang pengagum. Namun, lama-kelamaan cinta tersebut tumbuh pula di hatinya. Hanya saja, sang pria yang didambanya menjadi kekasih itu malah bersikap angin-anginan.
Maka, mereka mengalunkan lagu-lagu berjudul ”Once upon a time”, ”Secret Admirer”, ”Twist Me Around”, ”What If”, Me & My Boyfriend”, ”Telephone”, ”Dream”, ”When the Moonlight Shines”, ”And Rain will Fall”, ”Life Keeps on Turning”, ”What If” (versi akustik), ”Me & My Boyfriend” (versi akustik), dan ”Goodnight Song”.
Waktulah yang akhirnya mengantarkan Mocca terus beranjak dewasa. Kedewasaan mereka diuji oleh makin banyaknya peluang untuk pentas di dalam dan luar kota Bandung. Dalam waktu dekat, Mocca akan mengawali tournya ke kota-kota besar di Indonesia, dimulai dari Jakarta. Selamat menikmati rasa ”Mocca” yang enak.